Oleh : Rasiam
Dosen Ekonomi Syariah IAIN Pontianak
.
Bagi sebagian manusia, ramadhan hadir hanya dijadikan sebagai ajang kontestasi ketamakan bersifat duniawi. Manusia berlomba untuk memaksimalkan keinginan tanpa batas sehingga mengganggu stabilitas di sekelilingnya. Sudah tidak menghitung lagi akan kebutuhan mendasar manusia itu karena sudah terjebak dengan konsumerisme.
Umer Chapra berpendapat, orang kaya sekali pun tidak boleh berlaku tamak dan boros karena akan mengganggu sirkulasi ekonomi di pasar. Prilaku tamak boros si kaya dengan melakukan tindakan memborong barang maka setidaknya akan berdampak pada kekuarangan stok barang dan jasa. Karena stok barang dan jasa berkurang (langka) maka harga akan naik. Di saat barang terus naik, kondisi bersamaan banyak orang-orang miskin yang membutuhkan juga terhadap barang dan jasa tersebut. Hal ini berlaku hukum permintaan dan penawaran berbunyi “apabila permintaan semakin meningkat maka harga barang akan menjadi naik, begitu juga sebailiknya”. Al-qur’an dan hadist juga melarang berbuat boros. Seperti yang tercantum di dalam QS. Al-Isro’ ayat 26-27.
Menurut imam Al-Ghazili, kebutuhan mansuia itu tidak terlepas dari 3 tahapan yaitu kebutuhan bersifat daruriyat, hajiyat dan tahshiniyat. Dalam ilmu ekonomi modern, teori imam al-Ghazali tersebut dikenal dengan istilah kebutuhan akan primer, sekunder dan tersier. Nah, ketika bulan Ramadhan tiba, kebutuhan manusia sudah tidak tertib lagi, artinya skala prioritas dari kebutuhan manusia sudah bercampur baur dengan kebutuhan non prioritas yang disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa ketidaksanggupan manusia menahan keinginannya sehingga menyingkirkan kebutuhan, semenatara penyebab dari faktor ekstenal adalah gaya hidup yang diperoleh dari lingkungan sekitar dan budaya masyarakat yang konsumtif. Pada umumnya di Indonesia hari raya idul fitri itu tidak hanya terjadi pada 1 syawal saja, akan tetapi perayaannya sampai ke 30 syawal.
Penghasilan selama sebelas bulan dihabiskan hanya untuk bersifat konsumtif. Keputusan untuk melakukan investasi sebagai cadangan hidup masa depan jarang sekali ditemukan pada hari-hari raya. Semuanya sibuk melakukan pemenuhan untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif. Pada hal Nabi Yusuf di dalam al-Qur’an Surah Yusuf ayat 47 sudah mengingatkan bahwa ke depan akan ada masa subur (kaya) dan akan ada pula masa paceklik. Raja Mesir bermimpi tentang 7 ekor unta gemuk dan 7 ekor unta kurus. Kemudian nabi Yusuf (Joseph dalam kitab Injil) menakwilkan bahwa akan ada 7 tahun masa kemakmuran dan 7 tahun masa peceklik. Tafsir mimpi Raja Mesir oleh Nabi Yusuf ini sekarang dikenal dengan siklus ekonomi 7 tahunan. Harapannya, berinvestasi dapat menyelamatkan kehidupan di masa depan.
Konsumerisme atau paham konsumtif ini sudah lama melanda masyarakat Indoneisa. Jika kondisi seperti ini tidak ada upaya penyadaran, maka Indonesia berada pada kondisi yang selalu terpuruk. Kita ribut di saat asset dikuasai oleh orang lain, akan tetapi tidak ada upaya perbaikan seperti memaksimalkan produktivitas di setiap kehidupan baik yang bersifat ekonomi, sosial maupun agama. Penulis berpendapat, kita sudah lama tidur dengan kondisi seperti ini. Untuk itu Ramadhan harus hadir sebagai upaya perbaikan cara berfikir, berprilaku, dan bertindak secara produktif, buka semakin konsumtif. Kita harus menerapkan apa yang ditafsirkan oleh nabi Yusuf tentang antisipasi kehidupan masa depan dengan melakukan hal-hal yang bersifat produktif.
Abu Yusuf mengajarkan kepada kita agar mampu bersikap hemat, apalagi di era pandemi covid 19 yang melanda dunia. Semua masyarakat harus menahan diri untuk tidak belaku boros. Harus lebih medahulukan kebutuhan daripada keinginan untuk memnuhi kehidupan sehari-hari. Pandemi covid 19 ini mengingatkan kepada kita akan ta’wil mimpi Abu Yusuf, bahwa akan tiba saatnya masa krisis yang ditandai dengan 7 ekor onta kurus. Mimpi ini sangat relevan dengan konsidi yang melanda kita sekarang. Aktivitas agama, sosial dan ekonomi dibatasi demi kemaslahan masyarakat. Hal ini berdampak pada geliat ekonomi masyakat. Pembatasan aktivitas agama, sosial dan ekonomi ini pasti berdampak pada pendapatan masyarakat. Jauh menurun jika dibandingkan dengan kondisi normal. Untuk itu, sikap hemat dan mementingan kebutuhan dasar mesti dikedepankan dibandingkan hanya sekedar memenuhi hasyrat keinginan masarakat. *
Ramadhan karim.
Comment