IKBM MEDIA, Pontianak – Kepergian pakar orangutan Tapanuli, Pahrian Siregar berpulang. banyak kisah dan kenangan yang melekat dibenak sahabat-sahabatnya.
Berikut, IKBM Media melampirkan curhatan hati Andi Nuradi, salah satu penghuni camp pengungsian tragedi Kalimantan Barat tahun 1999 tentang mendiang Pahrian Siregar.
SAYA tahan diri untuk tidak menangis.
Tapi tangis itu pecah. Aku benar2 menangis.
Aku kehilangan dirimu, Bang Pahrian Siregar.
Di Pengungsian…
Pertama kali kenal beliau. Doi aktif jadi relawan dan ikut kegiatan pemulihan trauma anak2 di pengungsian. Saya masih mahasiswa baru yang hidup di pengungsian. Pertama dengerin doi ngomong, saya lihat ini orang cerdas. Seiring waktu, bergaul dengannya, saat doi masih aktif di lembaga yang dirintisnya, Yayasan Madanika dan kemudian di LP3M.
Beliau pindah Jakarta, saya sempat menemuinya saat doi masih ngekos tahun 2006-an dan bertandang di rumahnya yang di Bogor tahun 2013-an.
Sejak dia tahu saya memilih jalan usaha non formal, setiap ketemu saya, doi diskusi politik dan bisnis, tentu saja setelah bosan saling olok2an (sakat; istilah Pontianak). Doi tahu, tema2 lain saya kurang minat. Beliau ngasih analisa berbagai perspektif ekonomi-politik dan perdagangan di dunia hingga lokal. Tipe manusia kutu buku. Pahrian emang lumayan kalo soal ngasih pemahaman, gampang dicerna, terutama bagi temannya yang awam seperti saya.
Sejak kenal, hingga bertemu terakhir, setahun lebih yang lalu, beliau tetaplah abang yang ku kenal, aktif memikirkan kemajuan dan perkembangan komunitas. Kalo ketemu saya, doi selalu berbicara tentang kemajuan dan perkembangan masyarakat Madura. Aku pernah berseloroh pada kawan2 Madura bahwa…
“Pahrian ini lebih Madura dari kita yang Madura”
Disaat orang lain mencibir kami, beliau adalah salah satu orang terdepan yang tetap memeluk kami. Membesarkan hati kami.
Tak lekang oleh waktu, narasi kemanusiaannya dalam ngobrol dan diskusi tetaplah menjadi inti. Abang satu ini emang semacam mewakafkan pikirannya untuk hal2 kemanusiaan, dalam konteks apapun. Jarang sekali doi cerita tentang dirinya atau familinya. Orang ini kalo diskusi “akunya” hilang, yang tersisa hanya obrolan sosial.
Sosok asyik berhati lapang itu telah dipanggil Allah. Kembali dalam bulan mulia. Kebaikanmu dalam amal pikiran kemanusiaan mengiringi mu menghadap Tuhan Yang Kuasa.
Selamat jalan, Bang Yan…
Semoga Allah Azza Wa Jalla ridha padamu, pada nilai kemanusiaan yang kau pikirkan dan amalkan.
Tuhan ciptakan sorga untuk orang2 yang Qolbun Salim, berhati bersih, bermanfaat bagi manusia lainnya, membantu manusia2 yang dipinggirkan, dan kau telah abdikan usiamu untuk itu…
Aamiin.
Oh ya, terima kasih Bang Yan atas motivasimu, agar aku mau melihara sapi sebagai upaya menjaga tradisi nilai “ekonomi” orang tuaku. Walaupun aku tetap mendebatmu soal itu, aku ikuti saranmu.
Kau salah satu saudara terbaik dalam hidupku… *
Comment